Aksi warga Papua di Wamena, menolak pemekaran provinsi, Kamis (10/3). |
Aktual Indonesia - Dilansir dari cnnindonesia.com ribuan rakyat Papua turun ke jalan menggelar aksi penolakan wacana pemekaran Daerah Otonomi Baru (DOB) di Lapago, Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Kamis (10/3). Aksi ini membuat Kota Wamena lumpuh.
"Kami membutuhkan penyelesaian HAM bukan pemekaran. Pemekaran membawa orang Papua ke genosida, karena pemekaran kabupaten saja telah banyak konflik. Pemerintah fokus benahi sistem pemerintahan bukan menambah masalah," kata Penanggung Jawab Aksi Dano Tabuni dalam keterangan resminya, Kamis (10/3).
Ia mengatakan kini sudah waktunya pemerintah membuka ruang sebesar-besarnya kepada Orang Asli Papua (OAP) untuk memberikan pandangan/pikiran tentang berhasil atau tidaknya Otsus [otonomi khusus] selama 20 tahun di Papua.
"Rakyat Papua telah menyaksikan kebijakan pemerintah Pusat di Papua yang mana tidak pernah melibatkan orang Papua," ujarnya.
Dano mengatakan hal tersebut dibuktikan melalui perpanjangan Otsus Papua. Dalam pembahasannya tidak ada satu pun aspirasi Orang Asli Papua (OAP) yang dapat diakomodasi. Menurutnya, dari 79 pasal dalam UU Otsus, hanya versi pemerintah yang dititipkan kepada kelompok tertentu di Papua untuk dirumuskan.
"Ini seharusnya terbuka dan transparan dalam negara demokrasi seperti di Indonesia," tuturnya.
Selain itu, Dano menilai bahwa Rapat Dengar Pendapat (RDP) merupakan ruang yang tepat bagi berbagai pihak yang berbeda pandangan untuk menyalurkan aspirasinya, terutama OAP dan pihak pendukung "Papua merdeka harga mati" dengan "NKRI harga mati".
Dengan hal ini, kata dia, rakyat Papua Barat merasa didiskriminasi oleh Pemerintah Pusat. Sejumlah organisasi masyarakat sipil dan aktivis politik pun mengorganisasi penolakan atas evaluasi UU Otsus dan perpanjangannya.
Kendati demikian, pemerintah secara sepihak telah melakukan revisi tanpa mendengarkan aspirasi rakyat Papua, kemudian menitipkan pasal-pasal dalam UU Otsus untuk mengakomodasi kepentingganya dan salah satunya pemekaran.
"Pemekaran bukanlah aspirasi rakyat Papua tetapi demi kepentingan elite-elite bupati Lapago dan Jakarta" tegas Dano.
Ia menilai pola kepentingan elite politik ini tercermin dalam tata cara pemekaran.
Secara aspek yuridis, Tata Cara Pemekaran Provinsi Papua telah diatur dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua.
Pasal tersebut menyatakan pemekaran Provinsi Papua dilakukan atas persetujuan Majelis Rakyat Papua (MRP) dan DPR Papua, dengan memperhatikan sungguh-sungguh kesatuan sosial-budaya, kesiapan Sumber Daya Manusia dan kemampuan ekonomi dan perkembangan di masa mendatang.
Setelah Otsus direvisi, Pasal 76 ayat (2) Tahun 2021 berbunyi "Pemekaran dilakukan oleh Pemerintah dan DPR tanpa melalui daerah persiapan, memperhatikan aspek politik, administratif, hukum, kesatuan sosial, budaya, kesiapan SDM, insfratruktur dasar kemampuan ekonomi, pengembangan aspirasi masyarakat Papua."
"Rakyat tetap diperalat para pejabat di Papua yang haus kekuasaan, dengan cara memainkan isu primodialisme, sukuisme, dan kami tidak dapat jabatan sebagainya di Provinsi Papua," ungkapnya.
Lebih lanjut, Dano mengatakan dengan membuka pemekaran artinya memberikan akses kepada investor asing dan tenaga kerja non-Papua.
Peluang tersebut akan diisi oleh orang Papua, sebab sudah terbukti dengan cara sistematis tingginya arus kependudukan, modernisasi secara budaya secara massif. Budaya orang Papua mulai rusak dari berbagai lini setidaknya 16 bahasa daerah yang punah, juga hilangnya budaya penggunaan pakaian adat lainnya.
Dalam aksi itu, setidaknya sejumlah tuntutan dilayangkan masyarakat Papua kepada pemerintah. Pertama, mereka menolak Daerah Otonomi Baru (DOB) di wilayah Lapago Papua. Mereka juga mendesak pembatalan pertemuan Kemendagri dan Bupati terkait pembahasan Pemekaran DOB wilayah Lapago.
Mereka mengutuk keras elite politik Bupati se-Pegunungan Tengah Papua dan mereka memberikan Mosi Tidak Percaya kepada sejumlah Bupati, menghentikan pemekaran di Papua Barat.
Lalu, mendesak para Bupati dan elite politik Papua berhenti memperpanjang penderitaan rakyat Papua dan memelihara mesin pemusnahan OAP. Pemerintah Pusat dan elite politik Papua bertentangan dengan Pasal 76 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001.
Mereka mengamini pemekaran akan berdampak buruk membuka pintu masuk narkoba, miras, perjudian togel dan memiskinkan orang Papua.
Selain itu, mereka mengancam apabila Pemerintah Pusat tidak mengindahkan tuntutan rakyat Papua untuk menghentikan pemekaran, maka Rakyat Papua akan menutup semua aktivitas kantor pemerintahan di wilayah Lapago, Papua.